Hampir di setiap kesempatan mengisi acara remaja, saya selalu
memberikan pertanyaan di awal pembahasan materi, atau di pertengahan,
termasuk menjelang akhir penyampaian materi. Pertanyaan sederhana dan
saya sekadar ingin mengetahui tingkat pengenalan dan pengetahuan mereka
terhadap Islam. Umumnya saya menyodorkan pertanyaan yang kira-kira
gampang dijawab. Misalnya meminta mereka untuk menyebutkan nama-nama
sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam. selain Khulafa
ar-Rasyiddin. Eh, tapi malah banyak juga yang menjawab Ali bin Abi
Thalib ra, Umar bin Khaththab ra, Usman bin Affan ra, dan Abu Bakar
ash-Shiddiq ra. Halah, entah mereka tidak mendengar pertanyaannya atau
memang nggak tahu nama-nama sahabat mana saja yang tergolong al-Khulafa
ar-Rasyidin dan sahabat mana yang bukan termasuk Khulafa ar-Rasyiddin.
Ada pula yang malah sama sekali nggak tahu nama-nama putri Rasulullah
saw. Waduh, memprihatinkan memang. Tapi ketika ditanyakan nama-nama
selebritis remaja, banyak yang serentak menjawab tahu dan menyebutkan
namanya. Halah, musibah besar ini. Tapi yang jelas, pertanyaan seputar
nama-nama sahabat Rasullah saw. itu rupanya merepotkan mereka. Bukan
hanya di satu tempat lho. Tapi merata di seluruh tempat yang pernah saya
kunjungi untuk mengisi acara remaja tersebut. Saya kemudian berpikir,
bagaimana dengan pengetahuan mereka tentang Islam yang lebih dalam:
fikih, syariat, dan akidah? Allahu’alam.
Sobat gaulislam, kondisi kita saat ini memang sudah sangat
memprihatinkan. Baik luar maupun dalam. Faktor eksternal (luar) adalah
tidak tersampaikannya informasi Islam dengan benar dan baik. Media massa
umum lebih ‘senang’ menyampaikan informasi tentang Islam yang
dianggapnya tidak baik menurut ukuran mereka. Isu terorisme yang secara
tidak langsung pemberitaannya mengarah kepada keterkaitan kelompok
tertentu dalam Islam yang harus bertanggungjawab terhadap teror
tertentu. Lha, Islam memang sampai, tapi dengan persepsi yang buruk
akibat ulah pelaku media massa yang melanggar aturan yang mereka buat
sendiri dalam kaidah jurnalistik, yakni memberi opini sesuai
keinginannya, bukan menyampaikan berita sebagai fakta apa adanya yang
harus disampaikan.
Nah, faktor internalnya adalah, kelemahan kita sebagai muslim yang
kayaknya jauh banget dengan Islam. Ada jurang luas membentang yang
memisahkan kaum muslimin dengan Islam. Hal ini terjadi akibat melemahnya
ikatan kaum muslimin terhadap Islam. Awalnya, sangat boleh jadi ketika
lunturnya tradisi keilmuan di kalangan kaum muslimin. Akibatnya, karena
malas belajar Islam kaum muslimin jadi nggak ngerti dengan Islam yang
menjadi agamanya. Wajar kan kalo ada jarak yang sangat lebar antara
Islam dengan kaum muslimin. Mengenaskan sekali.
Itu sebabnya, melihat fakta dari cerita di awal tulisan ini, kita
seharusnya bisa menyadari bahwa kondisi remaja yang nggak ngeh dengan
nama-nama sahabat Rasulullah saw. tersebut atau masyarakat pada umumnya
yang nggak ngeh dengan Islam dan ajarannya, bukanlah murni seratus
persen salah mereka. Tapi ini lebih karena lingkungan saat ini memang
nyaris tak memberikan tempat untuk informasi Islam, bahkan sekadar untuk
mengenalkan tokoh-tokoh para sahabat Rasulullah saw. yang bisa
dijadikan teladan bagi kita saat ini. Media massa lebih fokus dan giat
bekerja untuk memberikan informasi kekinian yang memang bertabur fakta
dan data produk kehidupan saat ini yang didominasi oleh
Kapitalisme-Sekularisme.
Masa’ sih? Hehehe.. jangan kaget dan nyolot gitu dong. Coba aja
perhatiin acara-acara televisi yang nyiarin acara keislaman. Sangat
sedikit kalo nggak mau dibilang nggak ada. Bukan tak ada sama sekali.
Ada sih acara-acara keislaman, tapi ditaronya menjelang shubuh atau
sesaat setelah azan shubuh. Dimana orang yang baik-baik lagi persiapan
pergi ke masjid untuk shalat shubuh berjamaah, atau setidaknya lagi
persiapan untuk shalat shubuh di rumah untuk kemudian berangkat kerja
pagi bagi yang udah kerja. Bagi mereka yang abis begadang nonton
sepakbola liga Eropa atau begadang main gaple ya jam segitu masih ngorok
dengan tenang sambil ngimpi menang judi. Jadinya banyak yang nggak bisa
nonton tuh acara. Setelah jam 6 pagi, jangan harap deh ada televisi
yang nayangin siaran ceramah agama Islam. Palingan kalo Ramadhan aja
kali ya yang frekuensi waktunya jadi meningkat.
So, wajar aja kalo kita lebih kenal nama-nama selebritis
karena gosipnya hampir tiap hari. Udah gitu, tradisi belajar kaum
muslimin juga terkategori melempem. Silakan aja bandingkan dengan acara
konser musik. Jamaah yang hadir mendengarkan pengajian nggak sebanyak
yang jejingkrakan nonton konser musik dari grup musik pujaannya. Jarang
banget melihat ada remaja yang menjadi jamaah pengajian berebut tempat
paling depan. Umumnya nyari tempat strategis untuk menyendiri dalam
kantuk. Maka, dipilihlah tembok atau tiang buat nyender. Yeee… beda
banget dengan mereka yang sregep berebut tempat paling depan saat nonton
konser musik meski udah diusir-usir sama penjaga keamanan panggung.
Tetep aja ngotot biar dapetin tempat strategis untuk memfoto idolanya
atau sekadar bisa salaman. Astaghfirullah…
Salah paham tentang Islam
Bro en Sis rahimakumullah, pembaca setia gaulislam, ada lagi penyakit
yang menerpa kaum muslimin saat ini, yakni salah paham terhadap ajaran
Islam. Intinya, Islam nggak dipahami dengan benar dan baik oleh kaum
muslimin. Mengapa ini bisa terjadi? Setidaknya ada tiga faktor. Pertama,
kaum muslimin salah mengambil jalan hidup, bukan Islam yang diambil,
tapi ideologi selain Islam. Mereka menganggap bahwa Islam tak bisa
menjadi alat perjuangan, sehingga tak perlu dilibatkan mengatur
kehidupan. Kedua, kaum muslimin tidak utuh mempelajari Islam. Ketiga,
adanya upaya sistematis mengaburkan pemahaman Islam yang dilakukan oleh
musuh-musuh Islam melalui tokoh-tokoh yang berasal dari kaum muslimin
hasil didikan musuh-musuh Islam. Jadinya, lengkap sudah penderitaan kaum
muslimin saat ini.
Faktor pertama yang memicu salah paham tentang Islam adalah karena
kaum muslimin salah dalam mengambil jalan hidup. Halah, ini sih pastinya
bukan cuma salah paham, tapi yang jelas udah salah jalan, karena salah
mengambil sumber informasinya. Kayak orang mau bepergian ke suatu
tempat, tapi peta jalannya salah. Ya, nggak nyampe tujuan. Tul nggak?
Beberapa bukti atas fakta ini adalah, banyaknya kaum muslimin yang
memperjuangkan feminisme, demokrasi, sekularisme, kapitalisme, bahkan
sosialisme dengan menganggap bahwa hal itu lebih relevan untuk saat
ini. Waduh, celaka banget tuh. Sebab, sejatinya ide-ide itu bertentangan
dengan Islam dan bahkan menentang Islam. Itu tahapan idenya. Akibatnya
dalam tataran praktik, nggak sedikit kaum muslimin yang bangga
menyandang istilah “Kiri” (baca: kaum sosialis) hingga akhirnya mereka
berjuang di masyarakat dengan cara-cara seperti yang dilakukan kaum
sosialis (misalnya unjuk rasa anarkis dan menggunakan kekerasan fisik),
ideologinya pun ya sosialisme-komunisme. Padahal dirinya muslim, lho.
Kadang ada yang masih suka shalat juga.
Oya, nggak sedikit pula dari kaum muslimin yang merasa sudah menjadi
manusia seutuhnya ketika memperjuangkan demokrasi. Maka, seks bebas
tumbuh subur, pergaulan bebas antara laki dan perempuan jadi tradisi,
pengingakaran terhadap agama juga marak. Menyedihkan sekali bukan?
Inilah buah dari salah mengambil informasi jalan hidup, karena
menganggap Islam tak mampu menyelesaikan kehidupan hingga akhirnya
memilih kapitalisme dan juga sosialisme. Hmm.. kasihan banget!
Sobat gaulislam, untuk faktor kedua yang memungkinkan munculnya salah
paham terhadap Islam adalah kaum muslimin tidak utuh mempelajari Islam.
Setengah-setengah, gitu lho. Kasarnya sih, apa saja dari Islam yang
menurutnya baik dan menyenangkan diambil, sementara yang bikin ribet
bagi dirinya ditinggalin jauh-jauh. Ini namanya pilah-pilih sesuka
nafsunya. Bukan atas pertimbangan akidah dan syariat Islam. Superkacau
banget kan pemahamannya?
Shalat akan dilaksanakan kalo dengan shalat ia merasa tentram dan
tenang. Jadi bukan atas pertimbangan hukum syara dan ketataan kepada
Allah Ta’ala dalam melaksanakan shalat, tapi karena shalat membuat dia
tenang. Itu sebabnya, ia akan mengambil ajaran Islam tentang shalat.
Tapi jika menurut hawa nafsunya ajaran shalat itu bisa mengganggu
aktivitasnya berbisnis, maka ia akan tinggalkan shalat itu. Karena
menganggap waktu shalat itu mengganggu urusan penting yang dia kerjakan.
Daripada memilih menghentikan sementara kepentingan bisnisnya untuk
shalat, ia malah memilih kepentingan bisnis dan meninggalkan shalat.
Hmm.. bisa juga kasusnya adalah dalam berbagai produk syariat yang
ada dalam Islam tapi dipilih-pilih juga sesuka hawa nafsunya. Sangat
boleh jadi ada kaum muslimin yang rajin shalatnya. Benar memang, karena
sudah melaksanakan salah satu ajaran Islam. Tapi, ia membenci ajaran
Islam yang lain seperti aturan tentang bolehnya poligami. Setengah mati
ia meneriakkan protes bahwa poligami itu menyengsarakan kaum perempuan.
Ini kan aneh yang bapaknya ajaib alias aneh bin ajaib. Iya kan? Padahal,
syariat tentang poligami ada dalam Islam. Meski derajat hukumnya hanya
sebatas mubah dan itu pun bagi yang mampu saja mengamalkannya.
Itu sebabnya, setengah-setengah dalam mempelajari Islam berdampak
tidak utuhnya pemahaman tentang Islam. Tanggung, gitu lho. Bukan tak
mungkin pula jika akhirnya marak bermunculannya para pelaku malpraktik
dalam ajaran Islam. Hukum yang wajib dilakukan malah ditinggalkan, tapi
yang sunah dikerjakan seolah menjadi kewajiban. Contohnya, banyak para
wanita yang getol shalat sunnah tahajjud, tapi kalo keluar rumah
rambutnya dibiarkan bebas tanpa ditutupi kerudung dan bagian tubuhnya
dengan sukses dilihat orang lain karena tak menutup aurat dengan
sempurna. Piye iki? Harusnya kan yang wajib dilakukan, yang
sunnah juga dikerjakan semampunya. Inilah yang disebut malpraktik alias
salah prosedur dalam menjalankan syariat Islam, Bro.
Nah, mengenai faktor ketiga yang sangat mungkin memicu terjadinya
salah paham terhadap Islam adalah banyaknya cendekiawan muslim yang
menyampaikan Islam dengan pemahaman yang keliru. Islam yang disampaikan
itu sudah dimodifikasi terlebih dahulu, sesuai selera dan keinginan
mereka yang dipesankan dari musuh-musuh Islam. Mungkin saja cendekiawan
muslim yang menyebarkan pemahaman Islam yang keliru ini nggak nyadar
kalo dirinya diperalat oleh musuh-musuh Islam, atau bisa saja mereka
tahu bahwa yang disampaikannya itu keliru tapi karena demi jabatan atau
harta berlimpah yang dijanjikan kalangan tertentu yang membenci Islam,
akhirnya ya mereka lakukan juga tugas salahnya tersebut.
Sobat gaulislam, bagi cendekiawan yang nggak nyadar kalo mereka udah
menyampaikan Islam secara keliru, karena ia mempelajari Islam dari
sumber yang salah. Ada semacam penyusup yang seolah-olah tahu dan paham
Islam, tapi karena dianggap ulama atau cendekiawan akhirnya omongannya
didengar meskipun sebenarnya menebarkan racun. Contohya, jihad diartikan
sempit hanya secara bahasa yang bermakna sungguh-sungguh. Jihad menurut
bahasa (haqiqah al-lughawiyah), sebagaimana dituturkan oleh Imam Naisaburi dalam kitab tafsirnya, adalah: “Mencurahkan seluruh tenaga untuk memperoleh maksud (yang dikehendaki).” (Dr.
Muhammad Khair Haikal, al-Jihad wa al-Qital fi as-Siyasati
as-Syar’iyyah,jilid I/40). Definisi jihad menurut bahasa sangat umum,
sehingga apapun usaha seseorang, dengan motivasi baik atau buruk sekali
pun, bisa tergolong jihad.
Namun, Islam telah meletakkan kata jihad dengan pengertian syara’ (haqiqah as-syar’iyyah).
Ratusan kata jihad tersebar di dalam al-Quran maupun as-Sunnah. Dan
pelaksanaan aktivitas jihad memiliki metode dan cara-cara tersendiri
yang telah diatur secara sempurna oleh ajaran Islam. Dari sinilah muncul
pengertian bahwa kata jihad memiliki makna syar’iy. Pengertian jihad menurut syara adalah:”Mencurahkan
seluruh tenaga untuk berperang di jalan Allah, baik langsung maupun
dengan cara membantunya dengan harta benda, pendapat, atau mendukung
logistik (perbekalan), dan lain-lain.” (Ibnu ‘Abidin, Rad al-Muhtar, jilid III/336)
Jika demikian halnya, maka mana pengertian jihad yang lebih layak
digunakan oleh kaum muslimin? Untuk memperoleh jawabnya, cukuplah kita
merujuk pada perspektif syariat Islam. Para ahli ushul fikih telah
menyinggung kaidah: ”Makna syar’iy lebih utama diambil berdasarkan pengertian syara, dari pada pengertian bahasa maupun ‘urf” (‘Atha bin Khalil, Taysir al-Wusul ila al-Ushul, hlm. 296)
Itu sebabnya, istilah jihad lebih layak digunakan berdasarkan
pengertian syara, bukan berdasarkan pengertian bahasa. Jadi, jihad
artinya adalah perang melawan orang-orang kafir yang memusuhi Islam.
Akibat salah persepsi ini, kaum muslimin nggak mau lagi ngomongin
jihad dalam pengertian perang (apalagi melakukannya?) karena toh sudah
bisa disebut jihad dengan melakukan suatu perbuatan asalkan
sungguh-sungguh melakukannya. Ini jelas kekaburan makna dari aslinya.
Sangat membahayakan pemikiran tuh!
Ini baru satu contoh lho. Belum yang lainnya seperti ada cendekiawan
muslim yang berusaha keras memperjuangkan sekularisme, getol
mendakwahkan demokrasi, nggak lelah terus menyebarkan liberalisme dalam
Islam. Apakah mereka ulama? Ya, jika dilihat dari keilmuannya sangat
boleh jadi mereka ulama. Tapi seperti kata Rasulullah saw. ulama itu ada
dua jenis: ulama yang benar dan baik, tapi juga ada ulama yang jahat
dan buruk perbuatan maupun pemikirannya. Waspadalah terhadap tipe jenis
ulama yang jahat ini.
Oya, apakah ini salah Islam? Nggak kok. Ini murni salah pelakunya.
Entah tanpa disadarinya atau disadarinya dengan sangat. Sebab, yang
jelas adalah kesalahan dari mereka yang menyebarkan Islam dengan
informasi yang keliru. Akibatnya, tentu banyak kalangan awam dari kaum
muslimin yang mengikuti apa yang disampaikan ulama jahat ini dengan
alasan hal itu memenuhi selera liberalnya sebagai muslim yang nggak mau
terikat ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa agama hanya urusan pribadi
dan tentunya negara nggak boleh sama sekali menerapkan aturan negara
berdasarkan aturan agama untuk ngurus rakyat. Ya, inilah sekularisme,
sobat. Berbahaya! Jauhi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar